STRESS, KECEMASAN DAN FRUSTASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Olahraga adalah
sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik
olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam
aktivitas jasmani dan olahraga merupakan bagian terpenting dalam penampilan
seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi pada olahragawan
sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan
tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan
olahraga.
Setiap atlet atau pemanin ingin mencapai yang
terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang terbaik berdasarkan
kemampuan-kemampuannya sendiri. Setiap atlet memiliki sumber daya untuk
mencapai suatu prestasi. Sumber daya tersebut terwujud dalam potensi
jasmaniah-rohaniah. Potensi ini sangat menentukan dalam pencapaian prestasi.
Disamping itu terdapat faktor lain diluar diri atlet yang juga dapat
mempengaruhi prestasi, misalnya cuaca (temperatur), tempat pertandingan, alat-alat
dan sebagainya
Semua atlet akan selalu dihadapkan
pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress terhadap dirinya.
Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus
mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi
memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti sorakan dan
cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam
berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik
maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya
stress.
Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik
atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai kemampuan
dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat
mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik
internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang
kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet.
Dalam mempersiapkan atlet atau pemain
menghadapi pertandingan, arah pembenahan adalah penigkatkan faktor fisik yang
mencakup kondisi fisiologis, teknis dan psikis. Dengan kata lain, seorang atlet
harus dibekali keterampilan motorik (motorskill), kondisi fisiologis serta
kesiapan aspek psikologis yang maksimal.
A. Rumusan masalah
1. Defenisi stress, kecemasan dan prustasi?
2. Sumber-sumber timbulnya stress,kecemasan dan prustasi?
3. Bagaimana cara penanggulangan stress,kecemasan dan prustasi?
4. Stress, kecemasan dan prustasi dalam pertandingan?
B.Tujuan
1.
Menyajikan
pembahasan singkat tentang pengaruh aspek psikologis terhadap penampilan atau
prestasi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, dalam hal ini pemain atau atlet
waktu menghadapi dan melaksanakan suatu pertandingan.
2.
Mencoba
membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketegangan (stress, kecemasan dan frustasi)
dalam berolahraga.
3. Memberikan solusi
tentang bagaimana cara menanggulangi stress, kecemasan dan frustasi.
C. Manfaat
1.
Dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Olahraga.
2.
Sebagai
media menambah pengetahuan kami selaku penulis tentang pskologi olahraga
khususnya mengenai keadaan emosional seseorang / atlet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFENISI
1. Stress
Berbagai defenisi
mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing,
walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat
inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific
response of the body to any demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan
“stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his
adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua
defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu
terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan
fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social.
Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari
stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung
dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi
Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang
pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan
diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah
adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan
perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung
terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ
tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang
dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit
“gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag,
serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik
lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan
tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :
·
Stage
of Alarm
Individu
mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan
kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
·
Stage
of Appraisals
Individu
mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
·
Stage
of Searching for a Coping Strategy
Konsep
‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan
lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai
tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor
(sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara
mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi
‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh
pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana
stress tersebut berlangsung.
·
Stage
of The Stress Response
Pada
tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih,
cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak
adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan
pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif.
Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat
dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari
keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik
mental maupun fisik.
Disamping
membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah
istilah harm-loss, threat, dan challenge.
Harm-loss dan threatmemiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan
berdasarkan perspektif waktunya.Harm-loss digunakan untuk menerangkan
stress yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress
akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa
gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge(tantangan)
berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang
dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain.
Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya menjadi positif.
Dalam
olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan
mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam
olahraga merupakanproses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam
aktivitas olahraga, maksudnyaatlet melakukan coping terhadap
situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam
situasi tersebut, aspek harus yang terlibat adalahkognitif,
emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet.
Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping)
yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress.
Madden
(1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping
secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan
dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis
setiap atlet akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada
dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan
kegiatan relaksasi.
Latihan
merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi
dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti
perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya bisa dikurangi. Relaksasi juga
merupakan teknik coping yang bisa mengurangi
tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi
didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal
inhibition menganggap bahwa
respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh stress)
dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat
untuk memulai dan melakukan sesuatu.
Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara logika
tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden
(1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan
dissociativemerupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya
pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy),
dan pemikiran atauperasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari
atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang
signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam
pertandingan.
Konsep
coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya
dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi
hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme
primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus
dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi
hierarkhi tersebutsebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling
tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme
coping yang baik untuk digunakan.
2. Kecemasan
Kecemasan (Anxiety) adalah
salah satu gejala psikologis yang identik dengan perasaan negative. Beberapa
ahli psikologi menjelaskan pengertian kecemasan dalam berbagai makna. Menurut
Robert S. Weinberg dan Daniel Gold (2007: 78) mendefinisikan kecemasan adalah
sebuah perasaan negatif yang memiliki cirri gugup, rasa gelisah, ketakutan akan
sesuatu yang akan terjadi, dan yang terjadi pergerakan atau kegairahan dalam
tubuh. Kecemasan memiliki dua komponen yaitu terdiri dari kecemasan
kognitif (cognitive anxiety) yang ditandai dengan rasa gelisah dan
ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, sedangkan yang kedua adalah kecemasan
somatik(somatic anxiety) yang ditandai dengan ukuran keadaan fisik
seseorang. Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa(1989: 147) mendefinisikan
sebagai perasaan tidak berdaya, tekanan tanpa sebab yang jelas, kabur, atau
samar-samar. Sedangkan A.Budiarjo, dkk (1987: 351) menyatakan bahwa kecemasan
adalah keadaan tertekan dengan sebab atau tak ada sebab yang mengerti,
kegelisahan hamper selalu disertai dengan gangguan system syarat otonom dan
disertai rasa mual. Kartini Kartono (1981: 116) menyatakan bahwa kecemasan
adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang
tidak jelas dan mempunyai cirri yang merugikan. Rita L. Atikinson (1983: 212)
mengemukakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan istilah-istilah seperti kekawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang
kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Ahli lain Griest et
all (1986) merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang disertai
dengan gangguan tubuh yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami
kelelahan karena senantiasa harus berbeda dalam keadaan waspada terhadap
ancaman yang tidak jelas dan hamper selalu disertai gangguan pencernaan.
Sedangkan Pahlevi (1991) mendefinisikan
kecemasan sebagai suatu kecendurangan untuk mempersepsikan situasi sebagai
ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980) menjelaskan
kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana
ia merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan
pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan - perubahan pada
tubuhnya baik secara somatik maupun psikologis.
Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli
dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu yang akan dilakukan dan belum
terjadi yang ditandai dengan kekhawatiran, kurang percaya diri, kegelisahan
yang kadang kala dapat mengganggu kinerja fisiologis tubuh. Kecemasan merupakan
gejala psikologis yang umum terjadi dan setiap orang sadar pasti pernah
mengalaminya.
Kecemasan adalah suatu rasa takut, tidak
aman, tak berdaya tanpa sebab yang jelas. Jadi bukan rasa takut yang disebabkan
stimulis dari lingkungan individu tersebut. Kecemasan ini mungkin datangnya
dari situasi-situasi yang dikhayalkan akan terjadi.
Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada
waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang
memakan waktu panjang dan atlet tersebut menglami kekalahan terus-menerus.
3.Frustasi
Fustasi timbul
dikarenakan merasa gagal tidak dapat mencapai suatu yang diinginkan. Setiap
atlet menginginkan kepuasan yaitu itu menang; dan apabila itu tidak terwujud,
maka dapat menimbulkan frustasi.
Frustasi dapat terjadi pada atlet yang
mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat optimis yang
sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah
sebelum berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena
frustasi sehingga mengalami kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai
kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya.
Sedangkan apabila atlet memiliki sifat
optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat mudah mengalami
frustasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta
kehilangan keseimbangan emosi.
Frustasi adalah suatu harapan yang diinginkan
dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.Misalnya putus
pacar, perceraian, masalah kantor, masalah sekolah atau masalah yang tidak
kunjung selesai. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai
mendapatkan rintangan.Frustasi memiliki dua sisi.
1. Frustasi adalah fakta tidak
tercapainya harapan yang diinginkan.
2. Frustasi adalah perasaan dan emosi
yang menyertai fakta tersebut.
Pada contoh diatas adalah fakta mendapatkan
nilai jelek di sekolah dan mendapat marah oleh bos dalam kesalahan di kantor.
Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan
lainnya yang mungkin muncul.
Akibat dari frustasi
bisa munculkan gejala-gejala ketubuhan yang disebut psikosomatis.
Bayangkan anda mendapatkan nilai atau
penghargaan yang tidak sesuai dengan yang anda harapkan, padahal anda sudah
berusaha dengan sebaik mungkin. Seumpama anda mendapat nilai D pada ujian
akhir. Ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah beberapa kali. Anda
lalu menjadi kesal bahkan marah atau muncul perasaan-perasaan lainnya. Pada
malam harinya anda tidak bisa tidur. Segudang pemikiran muncul, berputar-putar
silih berganti, mulai mencari sebab-sebab kegagalan, upaya mencari jalan lain
supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk. Sehingga nantinya
akan terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Anda mencoba untuk mengusir
pemikiran-pemikiran tersebut tapi tetap saja tidak bisa dan akhirnya anda jatuh
tidur karena memang betul-betul kecapaian. Pada pagi harinya anda bangun dengan
tubuh yang kurang segar karena susah tidur. Selama siang hari perasaan maupun
tubuh anda akan terasa tidak enak. Sekali-kali akan teringat mengenai kegagalan
pada hari sebelumnya dan itu akan muncul dan mengganggu.
Namun selain contoh diatas ada juga contoh
frustasi yang berakibat agresi karena frustasi yang dialami melahirkan reaksi
kemarahan. Tindakan agresi diambil apabila individu merasa lebih kuat dari
lawannya. Sebalinya bila individu merasa lemah, maka biasanya tindakan yang
diambil ketika terjadi frustasi adalah menghindar atau melarikan diri.
B. Sumber-sumber Stress, Kecemasan dan
Frustasi
Sumber-sumber stress,
kecemasan dan frustasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:
a. Sumber Intrinsik
Sumber
Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semuahal ini berasal dari
diri atlet itu sendiri, yaitu;
o
Atlet
sangat mengandalkan kemampuan tekniknya.
Bila
atlet hanya mengandalkan kemampuan tekniknya, atlet tersebut akan mengalami
kesulitan sebawatu menghadapi situasi pertandingan yang kurang menguntungkan
bagi dirnya, misalnya menghadapi lawan yang ulet dan cermat sehingga lawan itu
mampu mengantisipasi setiap serangan yang akan ia lakukan. Akibatnya atlet
tersebut akan merasa terpepet dan selanjutnya tidak mampu lagi menguasai
situasi yang sedang dihadapinya.
o
Atlet
merasa bermain baik sekali.
Bila perasaan
ini menghinggapi atlet, maka akan menjadi pertanda mulai timbul sesuatu yang
menekan pada dirinya. Perasaan ini memberikan beban mental pada dirinya.
Demikian juga perasaan yang sebaiknya, yang seakan-akan atlet itu telah
memvonis diri sendiri bahwa ia tidak akan mencapai sukses.
o
Adanya negative
thinking karena dicemooh atau dimarahi.
Dicemooh
atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi yang menekan dan
menimbulkan frustasi sehingga menggangu penampilan pelaksaan tugas.
o
Adanya
pikiran puas diri.
Bila
dalam diri atlet ada pikiran atau perasaan puas diri maka ia telah menanamkan
benih-benih ketegangan dalam diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri
sendiri untuk mewujudkan suatu yang mungkin berada diluar kemampuannya. Bila demikian
keadaannya, sebenarnya atlet itu telah menerima tekanan yang tidak disadari.
b.
Sumber
Ekstrisik
Sumber Stress, kecemasan dan frustasi
dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu sendiri, yaitu;
o
Rangsangan
yang membingungkan.
Salah satu
bentuk rangsangan yang membingunkan adalah komentar para official yang merasa
berkompoten, baik atas koreksi, strategi atau tektik yang harus dilakukan
maupun petunjuk yang lain kepada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah
sekaligus akan membingungkan atlet.
o
Pengaruh
massa.
Massa
penonton terlebih yang masih asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet.
Penonton juga memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana pertandingan.
Salah satu cirri massa (penonton) adalah emosi yang labil. Begitu mereka
mengalami kekecewaan, maka mereka akan menunjukan tindakan yang agresif berupa
cemoohan terhadap atlet. Disamping pengaruh yang merugikan itu adapun pengaruh
massa yang dapat membangkitkan semangat dan percaya diri, sehingga dalam situasi
yang kritis atlet merasa seakan-akan mendapat “angin”, yang lalu
berangsung-angsur ia mampu menguasai keadaan dan menunjukan penampilan yang
lebih baik.
o
Saingan
yang bukan tandingannya.
Pemain
atau atlet yang mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah pemain
peringkat diatasnya atau lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil
atlet atau pemain tersebut telah timbul pengakuan akan ketidak mampuannya untuk
menang. Situasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan pada diri
sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia semakin menyalahkan diri sendiri.
o
Kehadiran/ketidak
hadiran pelatih
Atlet
yang mempunyai hubungan personal dengan pelatih akan mengharapkan kehadiran
pelatih selama ia bertanding. Tidak hadirnya pelatih yang sebenarnya sangat
menguntungkan bagi penampilan bagi atlet tersebut. Hal ini disebabkan karena
atlet merasa tidak ada orang yang dapat member dukungan pada saat-saat yang ia
perlukan. Dengan support tersebut atlet akan merasa mampu menghadapi dan
mengatasi situasi-situasi yang penting. Sebaliknya, ada atlet yang tidak senang
akan kehadiran pelatih selama ia bertanding. Dalam hal ini pelatih harus cepat
memahaminya, ahar tidak menimbulkan perasaan yang mengganggu pada diri atlet.
C. Cara
Penanggulangan
Teknik-teknik untuk
mengatasi atau setidaknya mengurangi stress, kecemasan serta frustasi yaitu
sebagai berikut:
a.
Teknik
Intervensi
o
Konsentrasi
(Pemusatan perhatian)
Cara
ini pertama-tama menyingkirkan aneka ragam pikiran yang mengganggu atlet dan
hanya memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi.
Memang ada atlet yang mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang
mengganggu perhatian dan konsentrasinya pada pertandingan yang sedang
dihadapinya, namun tidak sedikit atlet yang begitu lama termakan oleh gangguan
pikirannya.
o
Pengaturan
pernapasan
Pada
orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan serta respirasi akan meninggi.
Keadaan seperti ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan,
sehingga irama pernapasan yang semula cepat atau meninggi secara
berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan juga merupakan
usaha penenangan diri.
o
Relaksasi
otot secara progresif
Caranya
adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini
dilakukan secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot
telah mencapai keadaan rileks yang sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan
mengurangi ketegangan emosional juga menurunkan tekanan darah serta denyut
nadi. Karenanya pada saat-saat tengan, orang sedapat mungkin memusatkan
perhatiannya pada relaksasi otot dengan cara seperti diatas (S. horn;1986)
b.
Mencari
sumber stress, kecemasan dan prustasi itu sendiri.
Disini
peran pelatih besar sekali. Hubungan hati-kehati antara atlet dan pelatih akan
memungkinkan pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet.
Demikian atlet juga akan dengan terbuka menceritakan apa yang sedang dialami.
c.
Pembiasan/berlatih
Cara
ini dimaksudkan untuk melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul
dalam pertandingan. Bentuk paltihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu
dalam latihan sengaja diabut situasi yang dapat menimbulkan ketengangan dalam
batas-batas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi peka (sensitif) terhadap
pengaruh lingkungan.
o
Berlatih
dalam gedung dengan pentilasi yang kurang baik sehingga sirkulasi udara
didalamnya sangat menggangu.
o
Berlatih
dilapangan dengan kondisi yang berbeda-beda, misalnya; permukaan tidak rata,
licin, terbuat dari bahan sintetis dan sebagainya.
o
Berlatih
dengan berbagai alat yang berbeda kualitasnya, misalnya berbagai merek
shuttlecock, bola volley, bola basket, bola tennis.
o
Berlatih
dialam (daerah) dengan cuaca atau suhu yang berbeda-beda, misalnya; didataran
dengan lapisan udara yang tipis atau didataran tinggi, didaerah dengan panas
yang menyengat dan sebagainya.
o
Berlatih
dalam rungan dengan sistem penerangan yang kurang memenuhi sarat.
d.
Teknik-teknik
khusus.
Penangan
ketegangan dengan menggunakan teknik khusus itu lebih menekankan pada
pendekatan individual, misalnya;
o
Melalui
music yang menjadi kegemaran atlet yang sedang mengalami ketegangan atau
kecemasan.
o
Menanamkan
dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap
dan menyeluruh.
o
Menjauhkan
atlet dari official yang pencemas.
o
Menjelaskan
kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan
dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan.
D. Stress, Kecemasan dan Frustasi dalam
Pertandingan
Menurut scanlan
(1984) dalam tulisnya yang berjudil: “kompetitif stress and the child atlet”
yang dimuat dalam buku “psikologikal foundation of sport” mengemukakan bahwa
“competitive stress” atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan
reaksi emoasional yang negative pada anak apabila rasa harga dirinya menrasa
terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan
sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan
penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari
kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu
apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan sehingga kemungkinan tidak
tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu
ketegangan emosional, yang akhrinya berpengaruh terhadap proses-proses
psikologis maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) dalam tulisnya mengenal
“stress & Anxiety in sport” dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh
morgan berjudul “sport psychology” menegaskan bahwa stress menunjukan
“psychological proses” yang kompleks, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam
situasi yang mengandung hal yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat
menimbulkan frustasi (streesor).
“Stressor” menurut Spielberger (1986)
menunjukan situasi-situasi atau stimuli yang secara objrktif ditandai dengan
adanya tekanan fisik atau psikologi atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu.
Situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam
tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda akan muncul dalam
menghadapi “stressor”, tergantung pada situasi tertentu yang diperkirakan
mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian
individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan
mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan aktifitas olahraga, khususnya
kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan maka permasalahannya
sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan.
Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984)
berkesimpulan:
1. “Because stress is an inevitable part of
life, it can’t be a volded”.
2. “Since stress is inevitable individual
must reduce it’s effect and cope through”.
3. “Chronic stress may have adverse effect
you upon the body particularly if it isn’t thought to relax”
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat
dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan
bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi
dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan
mental atlet yang bersangkutan.
Namun jikalau hal itu tidak dapat segera
diatas dan malah semakin menggangu atlet itu sendiri maka apa yang dicemaskan
akan menjadi nyata dan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan emosi. Keadaan
seseorang yang kehilangan keseimbangan emosi biasanya mengarah pada ekspresi
kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui hahwa atlet tersebut sedang
mengalami emosi. Namun demikan kadang-kadang ada atlet yang dapat mengontrol
keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan
perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkaitan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carrson ; 1987) yang dikenal
dengan Display rules. Menurut mereka adanya 3 rules yaitu Masking, modulation
dan simulation.
Masking adalah keadaan seseorang yang dapat
menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Emosi yang dialaminya
tidak tercetus keluar melalui ekspresi kejasmaniannya. Misalnya seorang atlet
yang sangat sedih dikarenakan kehilangan gelar yang semsetinya dapat dia raih.
Kesediahan itu dapat diredam atau ditutupi, dan tidak ada gejala kejasmanian
yang menyebabkan tampaknya rasa sedih tersebut. Pada modulasi (modulation)
orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi
hanya dapat mengurangi saja. Jadi misalnya karena sedih, ia menangis (gejala
kejasmanian) tetapi tangisnya itu tidak begitu mencuat-cuat. Pada simulasi
(simulation) orang tidak mengalami emosi, tatapi dia seolah-olah mengalami
emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmanian.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan diatas maka kami menarik
kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Olahraga adalah suatu kegiatan yang bukan
saja bersifat jasmaniah, melainkan merupakan kegiatan sebagai suatu totalitas;
Dalam diri seorang atlet terdapat
faktor-faktor psikologis yang mendukung atau menghambat penampilan atlet itu
sendiri.
Stress, kecemasan dan frustasi merupakan
keadaan yang selalu mencul kepermukaan ketika menghadapi even yang kopetitif.
Pelatih mempunyai peranan penting dalam
menjaga kondisi psikologis atlet.
B.Saran
Dari pembahasan dan kesimpulan diatas maka
kami memberikan saran yaitu sebagai berikut:
1. Mengingat semakin kerasnya even
olahraga yang semakin kompetitif, setiap atlet harus dapat meningkatkan
kemampuan tAknik dengan dibarengi oleh bekal psikologis yang memadai.
2. Agar pembekalan
psikologis itu efektif maka lingkungan yang ada di sekitas atlet harus dapat
mendukung keberadaan atlet itu sendiri.
3. Untuk mengatasi stress,
kecemasan dan frustasi, atlet harus dapat beradaptasi dengan lingkungan
pertandingan itu sendiri, serta didukung oleh faktor-faktor penunjang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa, Singgih dkk. 1987. Psikologi
Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Nasution, Noehi dkk. 1992. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Payitno, Elida. 1991. Psikologi Perkembangan.
Jakarta: Depdikbud.
Sutyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi
Olahraga. Jakarta: Copyright.
Wargito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi
Umum. Yogyakarta: Andy Yogyakarta
Orlick, Terry. (1998). How to Manage
Stress. USA: Mind Tool
Ltd.
Satiarsiatun (2003). Hubungan
Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping Stress: Tesis. Tidak
Diterbitkan.
Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K.
(1991). An in-depth Study of
Former Elite Figure
Skaters: III Sources of Stress. Journal of Sport &
Exercise Psychology, 13, 102-120.
Atikison L. Rita, dkk (1983). Pengantar
psikologi. Jakarta : Erlangga.
Kartini Kartono. (1981). Gangguan-gangguan
Psikologi Olahraga. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Singgih D. Gunarso. (1996) Psikologi Olahraga
Teori dan Praktek. Jakarta: Gunung Mulia.
Agresivitas dalam olahraga
Agresivitas, Perilaku
Agresif Serta Pengendalian Agresivitas Dalam Olahraga
Oleh
Guntur Firmansyah
(Prodi Pend.Jas.Kes.&
Rekreasi, FPIEK, IKIP BUDI UTOMO, Malang)
Abstrak : Sifat agresif hanyalah merupakan salah satu
sifat dari individu. Kecenderungan sifat agresif pada pemain menjadi tindakan
yang positif dan dibutuhkan untuk memenangkan pertandingan atau bisa sebaliknya
bisa merusak dan menjadi tindakan destruktif, sangat bergantung dari
sifat-sifat dan kepribadian lainnya yang ada pada indivdu tersebut.
Kata Kunci : Agresif, individu, destruktif
Pendahuluan
Agresifitas adalah istilah umum yang di kaitkan
dengan adanya perasaan –perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai
orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal maupun
menggunakan ekpresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan.
Tindakan agresif pada umumnya merupakan tindakan yang di sengaja oleh pelaku
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada 2 tujuan utama agresif yang saling
bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan
di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak
berdaya.
Agresifitas yang wajar. T idak setiap tindakan agresif merupakan perilaku yang bermasalah.
Agresif mungkin muncul sebagai pelampiasan perasaan marah dan frustasi. Bila
agresifitas muncul karena kondisi psikologis yang bersifat temporer dan
dipahami berdasarkan konteks situasi yang dihadapi anak maka itu merupakan
tindakan yang masih bisa diterima. Justru ketidakmampuan seorang anak untuk
mengekspresika dorongan agresif pada situasi-situasi tertentu merupakan
indikasi adanya permasalahan perkembangan pada dirinya. Mungkin itu merupakan
akibat dari mekanisme hambatan yang berlebihan yang secara psikologis tidak
terlalu sehat untuk perkembangan selanjutnya. Agresifitas yang
tidak wajar. Namun ada kecenderungan agresifitas yang bersifat menetap pada
anak tertentu. Secara umum kecenderungan ini menandakan kepribadian yang
agresif. Ini menandakan kepribadian yang agresif merupakan perkembangan
kepribadian. Dampak negatif pada diri sendiri dan pada lingkungan cukup
serius.
Upaya
untuk mendefinisikan agresif telah banyak dilakukan oleh para ahli. Sebagian
dari definisi tersebut dapat dirangkumkna bahwa agresivitas adalah beberapa
bentuk atau serangkaian perilaku yang bertujuan untuk membahayakan atau
mencederai orang lain(Dolar, Miller, Do’ob, Mourer & Sears, 1939; Boron,
1991). Definisi agresif seperti itu sering digunakan interchangeably dengan
istilah hostility pada satu sisi, padahal sebenarnya sangat berbeda dari segi
maknawi dengan istilah asertif atau agresif sebagai tindakan yang sering muncul
pada praktik olahraga disisi yang lain yang justru dibutuhkan untuk menampilkan
keterampilan secara efektif dalam kompetisi olahraga.
R.
H. Cox (1985) mengelompokkan tindakan agresif kedalam dua kategori. Pertama,Hostility
Aggresion yaitu tindakan agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan dengan
perasaan marah serta bermaksut melukai orang lain atau lawan bertanding
(Marcoen, 1999). Kedua, Instrumental Aggresion, yaitu perilaku
agresif yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pertandingan, tanpa
bermaksut melukai orang lain atau kawan bertanding.
Rujukan
teori yang dapat digunakan untuk memahami tentang agresivitas adalah Teori
Naluri (Instinc Theory).Teori Agresif-Frustasi (Frustration-Aggresion Theory)
dan Teori Belajar-Sosial (Social-Learning Theory).
Teori
Naluri (Instinc Theory). Teori ini berpijak dari tulisan Sigmund Freud dan Konrad Lorenz, menurut
Freud (1950) Teori ini menyatakan tindakan agresif dipandang
sebagai dorongan yang dibawa sejak lahir seperti halnya dorongan seksual dan
rasa lapar.Teori Agresif-Frustasi (Frustration-Aggresion Theory) (Dolar,
Miller, Do’ob, Mourer & Sears, 1939) Teori ini menyatakan
bahwa frustasi selalu menyebabkan tindakan agresif dan sebaliknya keagresifan
selalu disebabkan oleh frustasi.Teori Belajar-Sosial (Social-Learning
Theory) Teori yang digulirkan Bandura (1989) ini
berpandangan bahwa tindakan agresif adalah adalah sebuah respon atau perilaku
yang dapat dipelajari, bukan karena adanya dorongan naluriah maupun frustasi.
Selanjutnya Bandura (1989) menyebutkan bahwa tundakan agresif menunjukkan“circular
effects” yang artinya bahwa tindakan agresif akan mendorong
tindakan-tindakan agresif lainnya.
Perilaku Agresif dalam
Olahraga
Orang
yang agresivitasnya kurang terkontrol kemungkinan lebih besar melakukan
tindakan kriminal kekerasan, karena ia tidak bimbang melakukan kekerasan pada
waktu marah. Dalam upaya memahami agresivitas, Worchel dan Cooper (1970)
mengemukakan kasus Charles J. Whitman pada usia 12 tahun ia adalah pandu
garuda, kemudian menjadi pitcher time base ball disekolah gereja dimana dia
bergabung. Ia dikenal sebagai pemuda yang menyukai anak-anak kemudian menjadi
mahasiswa jurusan teknik arsitektur. Dilaporkan oleh majalah Newsweek, pada
tanggal 5 Agustus 1966.Ia telah membantai 13 orang dan melukai 31 orang di
menara Universitas Texas dengan senjata revolver sebelum ditembak oleh polisi.
Whitman sebelumnya telah membunuh isteri dan ibu kandungnya.
Perlu
diketahui bahwa Whitman dibesarkan dalam keluarga yang diliputi situasi penuh
ketegangan, Ayahnya seorang perfeksionis, dan berdisiplin serta selalu menuntut
anaknya mengerjakan sesuatu yang besar, serta tidak jarang member hukuman
apabila anaknya tidak menurut. Dari kasus diatas bias dilihat bahwa Whitman
memiliki kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketat, dapat
diduga bahwa ia selalu mengontrol tingkah laku namun selama itu rasa marah dan
kecewa terus berkembang dalam dirinya sehingga tidak terkendali dan akhirnya
meledak yaitu dalam bentuk tindakan ekstrim berupa kekerasan.
Lebih
lanjut Worchel dan Cooper membedakan dua tipe kepribadian yaitu (1) yang
agresifitasnya kurang terkontrol dan (2) yang agresivitasnya selalu dikontrol
dengan ketet.ipe kepribadian yang agresivitasnya kurang terkontrol menunjukkan
kurangnya larangan terhadap pengungkapan tingkah laku agresif dan kecenderungan
untuk mengadakan respons terhadap frustasi dan tindakan agresif.Tipe
kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol ketat, menunjukkan adanya
kontrol yang ekstrim kuat terhadap pengungkapan agresivitas dalam berbagai
kondisi.
Tindakan
agresif cenderung terjadi pada situasi yang tidak seimbang atau berlawanan.Pada
atlet umumnya terikat pada beberapa kelompok social, seperti keluarga, sekolah,
teman latihan, teman bergaul dan sebagainya. Tindakan agresif akan tertuju pada
orang yang tidak disenangi atau yang berlawanan. Misalnya atlet dimarahi oleh
pelatihnya dia tidak berani melawan pelatihnya tetapi dia akan bertindak
agresif dengan menyerang temannaya atau lawannya.
Pemain
yang agresif pada situasi tertentu sangat diperlukan untuk dapat memenangkan
pertandingan.Seperti dalam sepak bola, bela diri dan sebagainya.Tetapi
sifat-sifat agresif tersebut apabila tidak terkendali justru dapat
menjerumuskan dan mengarah pada tindakan-tindakan berbahaya misalnya melukai
lawan, melanggar peraturan serta mengabaikan sportivitas.Niat untuk menyerang
secara agresif tidak disertai rasa marah.Tindakan agresif demikian jelas bukan
disebabkan oleh karena frustasi. Tindakan agresif yang bukan karena frustasi
diantaranya dapat terjadi berupa gejala-gejala :
1. Tindakan
agresif instrumental
Tindakan agresif yang tidak
disertai rasa marah.
2. Tindakan
agresif karena meniru
Misalnya tindkan agresif
karena meniru tokoh gangster yang suka menyerang dan melukai orang lain.
3. Tindakan
agresif atas dasar perintah
Sering terjadi dalam
olahraga bela diri misalnya karena inisiatif menyerang akan mendapat penilaian
lebih dari wasit.
4. Tindakan
agresif dalam hubungannya dengan peran sosial
Dapat dilihat pada tindakan
agresif yang dilakukan penjaga keamanan yang harus bertindak
tegas dan jika perlu dengan kekerasan.
5. Tinddakan
agresif karena pengaruh kelompok
Pengaruh penonton atau tim
juga dapat merangsang dan menimbulkan gejala agresif. Tindakan agresif pemain
karena pengaruh penonton sering terjadi. Hal ni dapat dilihat bagaimana
tindakan dia sebagai bagian dari kelompok dan tindakan dia manakala dia bertindak
sendiri.
Dari
uraian tersebut maka dapat dikemukakan bahwa tindakan agresif seseorang atau
atlet tidak harus dihubungkan dengan gejala frustasi.Kita membutuhkan pemain
yang agresif untuk dapat memenangkan suatu pertandingan.Oleh karena itu,
menjadi kewajiban pembina dan pelatih untuk memanfaatkan sifat-sifat agresif
dari atletnya sehingga dapat tersalur dan terarah sesuai dengan aktivitas
olahraga yang diikutinya.
Pengendalian Agresivitas
dalam Olahraga
Sifat
agresif yang dimiliki pemain yang juga memiliki kesetabilan emosional,
disiplin, rasa tanggung jawab yang besar, tidak akan menjadi masalah dalam
pengarahannya. Pelatih dapat menyiapkan atlet tersebut untuk bermain agresif
dengan tidak perlu khawatir bahwa ia akan melukai lawan dan bertindak desttruktif
dalam upaya untuk mencaoai tujuan atau memenangkan pertandingan. Dengan
memberikan dorongan, pemberian stimulus yang positif dan sebagainya. Atlit akan
bermain agresif tanpa mengalami frustasi.
Bertitik
tolak dari “social-learning Theory”yaitu pemain akan meniru dan
belajar dari pengalaman pemain lainnya maka pelatih harus menyiapkan pemain
dengan petunjuk dan langkah praktis sebagai berikut :
1. Anjuran
untuk bermain agresif harus terarah, kapan da bagaimana cara yang tepat agar
tidak menimbulkan hal-hal negative dan melukai lawan.
2. Bermain
agresif harus disertai peningkatan penguasaan diri agar dapat selalu mengontrol
diri sendiri.
3. Bermain
agresif harus disertai disiplin dan rasa tanggung jawab, yaitu selalu mematuhi
peraturan dan tunduk pada keputusan wasit serta dapat mempertanggungjawabkan
tindakannya.
4. Perlu
adanya pemberian penghargaan bagi mereka yang bertindak agresif tetapi tidak
melukai lawan, memelihara sportivitas dan sebaliknya berikan hukuman apabila
berusaha melukai lawan atau tindakan tercela dan melanggar peraturan.
Dalam
upaya mengendalikan tindakan kekerasan atau agresivitas yang menyimpang,
dikemukakan Richard H. Cok sebagai berikut :
1. Atlet-atlet
mudah harus sudah diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku non agresif,
penguasaan diri, dan penampilan yang benar.
2. Atlet
yang terlibat tindakan agresif harus dihukum. Harus disadarkan bahwa tindakan
agresif dengan melukai lawan adalah tindakan yang tidak dibenarkan.
3. Pelatih
yang memberi kemungkinan para atlet terlibat dengan kekerasan harus ditelitih
dan harus dipecat dari tugasnya sebagai pelatih.
4. Pengaruh
dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan
dilapangan pertandingan harus dihindari.
5. Para
pelatih dan wasit didorong dan dianjurkan untuk menghindari lokakarya-lokakrya
yang membahas tindakan agresif dn kekerasan.
6. Disamping
hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan atlet harus didorong secara
positif meningkatkan kemampuan bertindak tenang menghadapi situasi-situasi
emosional.
7. Penguasaan
emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara praktis
antara lain melalui layihan mental
Simpulan dan Saran
Semua orang mengerti bahwa tindakan agresif,
adalah tindakan yang tidak terpuji, maka orany yang memiliki keperibadian yang
kuat tidak mudah untuk dipengaruhi untuk berbuat agresif. Mereka yang mengalami
“emotional enstability“ atau ketidakstabilan emosi, karena perasaan
marah dan perasaan negatif lainnya mudah dipengaruhi, dan mudah mendominasi
perasaan yang lainnya. Individu yang memilikiemotional instability yang
tidak mudah marah, mudah benci, mudah kecewa, mudah bingung, mudah kesal, dsb.
Karena emosinya mudah terombang ambing, maka gejala emosional tersebut akan
mengganggu fungsi jiwa yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa jiwa kita
merupakan kesatuan yang organis, dimana sumber kemampuan jiwa yang satu dapat
mempengaruhi sumber kemampuan jiwa yang lain. Karena itu goncangan emosional akan
mempengaruhi pertimbangan akal, sehingga individu tersebut akan bertindak tidak
sesuai dengan akal sehat.
Individu yang menunjukkan gejala kematangan
emosional atau “emotional maturity ” dapat meredam
goncangan-goncangan emosional sehingga dapat tenang, dan dapat menjalankan
fungsi akalnya dengan baik.Secara umum, individu yang memiliki kemarahan tinggi tiga kali lebih
mungkin untuk mengembangkan angina atau serangan jantung dibandingkan orang
yang memiliki kemarahan rendah, bahkan setelah pengaruh berisiko seperti faktor
genetik, alkohol, berat badan, kolesterol, hipertensi dan merokok
diperhitungkan pada rendah -kemarahan individu. Hal ini mencerminkan pengalaman
banyak psikolog dan dokter yang menemukan korelasi langsung antara risiko
kesehatan secara keseluruhan dan kemarahan intens.Secara umum, individu yang
memiliki sikap bermusuhan berisiko tinggi menderita penyakit lain juga.Hal ini
terjadi karena alasan seperti kesenangan untuk perilaku berisiko dan
peningkatan aktivitas biologis ketika sangat marah dan mengalami dukungan
sosial yang rendah.
Suasana
kompetisi dan kelas pendidikan jasmani dan olahraga kerap kali menjadi media
potensial yang mendorong perilaku terjadinya perilaku agresif. Perilaku ini
dalam kadar yang sesuai sangat perlu dimiliki oleh para pemain untuk dapat
memenangkan pertandaingan misalnya pertnadingan sepak bola, tinju dan
lain-lain. Tetapi jika berlebihan dan tidak terkendali dapat menjurus pada
tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, berbahaya, mencederai lawan, melanggar
peraturan, tidak fair play, bahkan dapat berakibat fatal. Tindakan agresif
tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet.
Beberapa rekomendasi untuk
upaya mengendalikan agresifitas antara lain :
a) Teknik
time out.
b) Memberikan
pemahaman dan contoh perilaku non agresif sebagai metode konstruktif untuk
memecahkan masalah.
c) Menciptakan
atau mendesain lingkungan belajar atau lingkungan latihan yang kondusif.
d) Memberikan
latihan empati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar